BANDA ACEH - Polemik
tentang Pilkada Aceh masih terus bergulir, meski Komisi Independen Pemilihan
(KIP) telah menetapkan tahapan Pemilihan Kepala Daerah di tanah rencong.
Tahapan Pilkada di Aceh rencananya dimulai pada April 2021 dan pencoblosan
dijadwalkan pada 17 Februari 2022.
Namun seperti diketahui, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menolak
rencana revisi UU Pemilu. Mereka ingin tetap melaksanakan Undang-undang
Pemilihan Umum dan Undang-undang Pilkada yang sudah ada, artinya Pilkada akan
digelar serentak pada tahun 2024.
Bermula dari itu, banyak pihak di Aceh terutama Politisi Partai Lokal
menyatakan Pilkada tetap harus dilaksanakna pada tahun 2022, sesuai dengan
amanat UUPA. Dimana Bupati, wakil Bupati/wali kota, wakil wali
kota/gubernur,wakil Gubenur Aceh dipilih secara langsung setiap 5 tahun sekali.
Terbaru, Ketua Komisi I DPR Aceh, Tgk Muhammad Yunus kepada wartawan
mengaku sudah berulangkali menyurati Kementerian Dalam Negeri untuk meminta
kejelasan terkait pelaksanaan Pilkada Aceh 2022. Namun, surat yang dikirim DPR
Aceh belum direspons Kemendagri.
Ia menyampaikan bila pekan ini juga tidak dibalas, maka pihaknya akan
mendatangi Kemendagri serta mengancam akan mendirikan tenda di depan gedung
tersebut.
Merespon pernyataan ketua Komisi I DPR Aceh yang membidangi Hukum, Politik
dan Pemerintahan, Akademisi dari Universitas Muhammadyah Aceh Dr Taufik A Rahim
SE MSi menyampaikan jika sampai Anggota DPR Aceh mendirikan tenda di depan
gedung Kementrian Dalam Negeri, dirinya menyarankan agar membuat kartu tanda mahasiswa.
"Beredarnya berita serta informasi diberbagai media massa, bahwa Ketua
Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) akan menggelar demo dengan cara
membuat tenda di depan Kantor Kementrian Dalam Negri (Kemendagri) Republik
Indonesia (RI) di Jakarta. Ini sebagai bentuk protes jika Kemendagri RI tidak
menyetujui, sepakat dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di Aceh pada
tahun 2022,"kata Dr Taufik dalam keterangan resmi yang dikirim kepada
wartawan media ini, Kamis (4/2/2021).
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh dilaksanakan pada tahun
2022 ini, sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun
2006, yang salah satu pasalnya menyatakan Pilkada dilaksanakan 5 tahun sekali,
yang juga merupakan turunan dari Memorandum of Understanding (MoU) Damai Aceh
15 Agustus 2005, di Helsinki.
Menurut dosen Unmuha tersebut, peristiwa ini merupakan masalah krusial
serta substansial dalam memimpin serta mengurus Aceh secara politik. Sehingga
Aceh yang memiliki kekhususan yang sangat bermartabat juga luar biasa, yang
tidak dimiliki oleh propinsi lainnya di Indonesia dengan landasan MoU Helsinki
dan UUPA. Sehingga ini jangan sampai dikotori, direndahkan serta dihancurkan
oleh perilaku politik rendahan, juga tidak memiliki argumentasi serta
komunikasi politik elite tingkat tinggi yang mampu meyakinkan elite politik dan
Kemendagri di Jakarta.
"Hal ini diperlihatkan oleh anggota DPRA dengan tidak memiliki
kompetensi dan kapasitas dengan cara memprotes, menggelar demo bahkan
mendirikan tenda di depan Kantor Kemendagri RI, jika keinginan dan kepastian
pelaksanaan Pilkada Aceh tidak digelar pada tahun 2022. Bahkan sudah ditetapkan
rencana tahapan kerja Komisi Independen Aceh/KIP, dimulai 1 April 2021 dan
pencoblosan 17 Februari 2022. KIP ini juga bentuk kekhususan Aceh, yang di
propinsi lain juga di Pusat Jakarta bernama Komisi Pemilihan Umum
(KPU),"terang Taufik.
Itu sebabnya, Taufik menilai jika setaraf itu kemampuan serta kapasitas
Ketua Komisi I DPRA, maka dirinya menyarankan agar mendaftar lagi atau lebih
dulu menjadi mahasiswa, serta buat kartu mahasiswa baru, karena telah merebut
'lahan' dan melakukan kegiatan demo seperti mahasiswa, pada saat saluran
informasi dan aspirasi pendapat serta argumentasinya tidak disahuti dan
direspon, maka mahasiswa menggelar demo sebagai bentuk penyampaian dan saluran
demokrasi macet dan tersumbat.
"Karena itu jangan sampai Ketua Komisi I DPRA menjatuhkan harkat dan
martabat rakyat Aceh, politisi serta elite politik Aceh dengan cara menggelar
demo dan mendirikan tenda di depan Kemendagri RI, hanya gara-gara ingin
memperlihatkan ketidakmampuan konsultasi, diplomasi dan komunikasi politik
tingkat elite. Selanjutnya melakukan perilaku dan tindakan konyol tidak
bermartabat dengan tidur mendirikan tenda di depan Kemendagri,"tegasnya.
"Aceh dan rakyat Aceh sudah sangat sadar logika, bahkan jera dengan
berbagai beban konflik masa lalu serta derita kehidupan yang belum dapat
terangkat secara nyata menjadi makmur dan sejahtera. Jangan sampai dipermalukan
lagi oleh tingkah polah serta perilaku elite politik Aceh atau anggota DPRA
yang tidak bermartabat,"demikian Dr Taufik.
Label: BANDA ACEH, DPRA, NEWS